Utama
Pengeboran Migas di Sanga-Sanga Tuai Penolakan, JATAM Minta Izin Dicabut

HEADLINENUSANTARA.COM, Samarinda – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur mendesak pemerintah mencabut izin operasi pengeboran migas PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) dan kontraktornya PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI), menyusul insiden semburan gas dan api di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara, yang terjadi 14 hari lalu.
Desakan ini disampaikan JATAM Kaltim dalam konferensi pers virtual via Zoom, Kamis (3/7/2025) soal Daya Rusak Tambang Migas di Sangasanga. Mereka menilai perusahaan telah lalai dalam pelaksanaan operasional serta abai terhadap hak warga dan lingkungan sekitar.
“Sudah dua minggu sejak peristiwa blow out itu terjadi, namun belum ada penjelasan resmi dari Pertamina maupun PDSI. Tidak ada transparansi, apalagi tanggung jawab,” ujar Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari, dalam konferensi tersebut.
WARGA ALAMI GANGGUAN KESEHATAN DAN DIPAKSA MENGUNGSI
Insiden terjadi pada Kamis, 19 Juni 2025 sekitar pukul 05.00 Wita, ketika warga dikejutkan semburan gas dan api dari salah satu sumur Pertamina. Menurut kesaksian warga, semburan tersebut mencapai ketinggian 12 meter dan diduga mengandung zat beracun seperti hidrogen sulfida (H2S), metana, hingga senyawa hidrokarbon lainnya.
Warga sekitar, seperti Suhardi (52) dan Noordayanti (42), mengaku mengalami sakit kepala, mual, dan sesak napas akibat paparan gas. Jarak lokasi sumur dengan permukiman yang hanya 700 meter membuat sebagian warga harus mengungsi karena trauma dengan kejadian serupa pada 1988 yang menewaskan dua orang akibat keracunan gas.
“Kalau sekarang sih, katanya airnya sudah mengalir dan kelihatannya bersih, tapi kalau dari warga sendiri, kami masih ragu. Soalnya, kalau dilihat dari beberapa hari lalu, air itu warnanya masih kotor. Yang paling terasa sih baunya. Memang, sekarang baunya sudah tidak ada lagi, tapi soal warna, baru hari ini saja benar-benar bening,” ujar Noordayanti.
“Jadi bisa dibilang, baru hari ini airnya terlihat bersih, tidak berbau, dan sudah jernih. Tapi kemarin-kemarin, air yang mengalir itu masih keruh, warnanya gelap, dan bercampur lumpur. Kami juga belum tahu apakah air itu benar-benar aman, karena belum ada penjelasan resmi atau hasil pemeriksaan dari pihak yang berwenang,” lanjut Noordayanti.
TEMUAN JATAM: TAK ADA SOSIALISASI, AIR DAN UDARA TERCEMAR
JATAM Kaltim memaparkan sejumlah temuan lapangan yang dinilai sebagai bukti kelalaian perusahaan. Pertama, tidak adanya sosialisasi kegiatan pengeboran kepada warga maupun penyampaian dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL). Warga juga tidak dibekali prosedur tanggap darurat.
Selain itu, air bersih yang disalurkan Perumda Tirta Mahakam disebut masih berbau menyengat, keruh, dan bercampur lumpur. Meski begitu, aliran tetap dilanjutkan tanpa kepastian keamanan karena sedang berlangsungnya Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di kecamatan tersebut.
“Ini mencerminkan lemahnya SOP dan pengawasan pemerintah terhadap kualitas air yang digunakan ribuan warga. Jika kapasitas produksi PDAM 5.000 meter kubik per hari, potensi air tercemar bisa mencapai 20.000 meter kubik,” terang Mareta.
JATAM juga mencatat adanya penyebaran zat beracun ke tanah dan udara, berdampak pada hewan, ikan, serta kesehatan paru-paru warga dari lima RT yang terdampak langsung. Sayangnya, hingga kini belum ada upaya pengambilan sampel atau pemeriksaan udara dan air dari instansi lingkungan hidup.
KOMPENSASI DINILAI TAK MANUSIAWI
Bantuan dari Pertamina kepada warga yang terdampak dinilai tidak proporsional dan jauh dari layak. Warga RT 04, RT 06, dan RT 02 hanya menerima satu dus air mineral, susu kaleng, dan vitamin untuk tiga hari.
“Jumlah bantuan tidak merata. Di RT 04 ada 166 KK, tapi hanya dibagikan 48 kaleng susu. Ini mempermalukan nalar dan menunjukkan minimnya akuntabilitas dalam penanganan bencana industri,” tegas Mareta.
DESAKAN INVESTIGASI INDEPENDEN DAN PEMULIHAN LINGKUNGAN
Dalam pernyataannya, JATAM Kaltim meminta pemerintah melalui Kementerian ESDM, Dirjen Migas, dan Inspektur Tambang Migas membentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil untuk menyelidiki penyebab kejadian dan mengusut tanggung jawab hukum para pihak.
Mereka juga mengutip dugaan pelanggaran terhadap UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PP No. 35 Tahun 2004, hingga Permen ESDM No. 32 Tahun 2021, yang menegaskan kewajiban perusahaan dalam keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan.
TUNTUTAN JATAM KALTIM:
- Pencabutan izin eksplorasi dan eksploitasi migas pada sumur LSE-P715 milik PT Pertamina PHSS dan PDSI, termasuk izin lingkungan hidup dan AMDAL-nya.
- Publikasi data rekaman log harian dan CCTV pengeboran hingga saat terjadi ledakan gas.
- Investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil untuk menyelidiki pelanggaran dan kelalaian.
- Permintaan maaf publik, pemulihan lingkungan, dan kompensasi adil kepada seluruh warga terdampak, bukan hanya yang terdekat dari lokasi semburan.
“Warga Sanga-Sanga sudah cukup lama menjadi korban dari industri ekstraktif. Kota bersejarah ini tidak seharusnya menjadi tempat pembuangan limbah dan risiko kesehatan. Pemerintah harus hadir dan bertindak,” pungkas Mareta.
Penulis: Redaksi Headline Nusantara
Editor: Awan
  Pertamina EP Sangasanga  PDSI di Sangasanga Migas Pertamina  pengeboran Migas  Jatam Kaltim