Utama
Kejati Kaltim Usut Dugaan Korupsi Rp5 Triliun di Terminal Ship to Ship PT PTB

HEADLINENUSANTARA.COM, Samarinda - Dugaan praktik korupsi senilai Rp 5,04 triliun dalam operasional Terminal Ship to Ship (STS) di wilayah perairan Muara Berau, Kalimantan Timur, kini menjadi sorotan publik dan aparat penegak hukum. Perusahaan berinisial PT PTB dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) pada pertengahan Mei 2025.
Laporan tersebut kini tengah diproses. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto, menyatakan bahwa pihaknya sudah mulai melakukan klarifikasi terhadap pelapor dan akan melanjutkan pemanggilan untuk pendalaman kasus.
"Kasus ini sedang kami tangani. Kami sudah klarifikasi pelapor dan akan memanggil pihak-pihak lain untuk dimintai keterangan," ujar Toni saat dikonfirmasi, Jumat (27/6/2025).
Sebelumnya, ARUKKI juga telah mengadukan perkara serupa ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Namun, pelaporan ke Kejati Kaltim dipilih agar proses penanganan hukum dapat berlangsung lebih dekat dengan lokasi kejadian serta memudahkan pengawasan.
PT PTB diduga melakukan pungutan liar sebesar USD 1,97 per metrik ton batu bara dalam operasional terminal STS. Namun, sebesar USD 0,80 per ton dari tarif itu diduga tidak memiliki dasar hukum dan langsung masuk ke rekening perusahaan. Parahnya, perusahaan tersebut disebut tidak memiliki fasilitas floating crane sebagaimana alasan pungutan tersebut.
Dalam kurun waktu sejak Juli 2023 hingga pertengahan 2025, diperkirakan sekitar 250 juta metrik ton batu bara telah diekspor melalui terminal ini. Total kerugian negara yang ditaksir akibat pungutan ilegal tersebut mencapai USD 300 juta, atau setara dengan Rp 5,04 triliun.
Regulasi Kementerian Perhubungan mengatur bahwa wilayah konsesi pelabuhan harus ditetapkan secara transparan dan melibatkan pemerintah daerah. Namun, kegiatan PT PTB disebut tidak pernah mendapatkan izin dari Gubernur Kalimantan Timur maupun koordinasi dengan otoritas pelabuhan setempat.
Adapun surat rekomendasi tarif dari Menteri Perhubungan tertanggal 24 Juli 2023 yang sempat digunakan sebagai dasar operasional perusahaan, telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta pada 18 September 2024. PT PTB kini tengah mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
Menanggapi kasus ini, pada Selasa (24/6/2025), Forum Komunikasi Pemuda Kalimantan Timur (FORKOP Kaltim) pun menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada, Samarinda. Dalam aksinya, mereka menuntut agar operasional PT PTB dihentikan dan dialihkan kepada Perusahaan Daerah (Perusda) agar potensi pendapatan bisa menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
FORKOP Kaltim juga mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk bersikap tegas terhadap dugaan aktivitas ilegal di sektor strategis tersebut.
FORKOP menyatakan akan terus mengawal isu ini hingga ada tindakan nyata dari Pemprov dan pemerintah pusat. Mereka juga akan membawa isu ini ke forum diskusi akademis, tokoh masyarakat, dan berbagai gerakan sosial lainnya untuk mewujudkan kedaulatan sumber daya daerah demi kesejahteraan rakyat Kalimantan Timur. Bahkan aksi akan berlanjut pada pekan depan jika tidak ada kejelasan dari Pemprov Kaltim.
Sepekan kemudian, pada Senin (30/6/2025) FORKOP kembali menggelar aksi lebih besar di depan Kantor Gubernur.
"Selama ini Kaltim sebagai pemilik wilayah hanya jadi penonton. Kedaulatan wilayah justru dikuasai oleh swasta, rakyat dapat apa?" tegas Juru Bicara FORKOP Kaltim, Andi Andis Muhris, usai pertemuan dengan sejumlah perwakilan instansi Pemprov Kaltim.
Para demonstran ditemui pihak Pemprov di lantai 6 Kantor Gubernur Kaltim. Hadir sejumlah pihak terkait seperti Dinas Perhubungan, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Dalam diskusi tersebut, terungkap bahwa PT PTB sempat mengajukan permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) pada 2024, namun hingga kini dokumen tersebut belum mendapat tanggapan dari kementerian terkait.
Menurut Ismail, Sub Koordinator Pendayagunaan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltim, selama dokumen KKPRL belum diterbitkan, semestinya aktivitas PT PTB dihentikan. “Jika belum ada KKPRL, maka aktivitas usaha mereka secara hukum tidak memenuhi syarat. Ini berpotensi ilegal,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Frizky Andrian dari KSOP Samarinda. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan konsesi STS harus melalui penunjukan resmi dari Kementerian Perhubungan dan harus disertai koordinasi dengan pemerintah daerah. “Jika tak ada koordinasi, maka aktivitas itu bisa masuk kategori tidak sah secara administrasi,” ujarnya.
Sementara itu, Ahmad Masliuddin dari Dinas Perhubungan Kaltim menyebut pihaknya telah bersurat ke KSOP Samarinda guna meminta klarifikasi terkait legalitas izin yang dimiliki PT PTB. Namun hingga kini belum ada jawaban resmi.
FORKOP Kaltim menilai lemahnya koordinasi PT PTB dengan Pemprov Kaltim sebagai bentuk pengabaian terhadap kedaulatan daerah. Mereka mendesak agar Pemprov segera mengambil alih operasional STS melalui Badan Usaha Milik Daerah (Perusda), sehingga bisa menjadi sumber PAD yang sah untuk pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, Direktur Pengembangan Bisnis PT PTB, Kamaruddin Abtami belum merespons pesan Whatsapp.
Penulis: Redaksi Headline Nusantara
Editor: Awan
  Perairan Muara Berau   Forkop Kaltim Kejati Kaltim  Korupsi   ARUKKI  Terminal Ship to Ship PT PTB